salahsatu tulisan yang mungkin dilihat tanpa sengaja, dan dimuat kembali dengan intergrasi dan interkoneksi antar sosial dan keislaman. SalamatulInsan Fi Hifdzil POSTINGAN. AIS Jawa Tengah. Kecenderungan "masyarakat sosmed" sekarang, pada umumnya adalah KAGETAN. Iya, kagetan, karena memang banyak sekali informasi masuk dari mata ke otak yang belum pernah dilihat, diraba diterawang , dan diketahuinya. Nah, tinggal bagaimana menyikapi kebiasaan KAGETAN ini menjadi lebih postif. Merekaharus menyadari bahwa keselamatan orang berada dalam kemampuannya menjaga lisan (salamatul insan fi hifdzil lisan). Dan lisan adalah modal utama pendakwah dalam menyebarkan kebenaran yang sinergis dengan keramahan dan keharmonisan. Kolom terkait: Kaleidoskop 2017: Tahun Keprihatinan Beragama Ketiga ulama'dan umaro harus selalu hadir dalam setiap nafas kehidupan berbangsa dan bernegara dengan semangat perdamaian dan kerukunan. "salamatul insan fi hifdzil lisan," selamatnya seseorang karena menjaga lisannya. Ini amanah PBNU pada 7 November 2016 lalu, bahwa semua harus saling menjaga, untuk kedamaian dan keutuhan NKRI. Salamatulinsan fi hifdzil lisan. Ku rohaka-rohakana balukar tina basa, tepi ka apan kanjeung Nabi mah ngajantenkeun ngariksa basa teh totonden tina tangkal kaimanan. Man kana yu'minu billahi wal yaomil akhiri fal yaqul khairon au liyashmut. Mun jalma ngaku iman ka Alloh jeung poe ahir, tanwande kudu nyarita hade, mun teu bisa leuwih alus repeh! Teringatbeberapa tahun yang lalu diberikan mahfudzot yaitu "Salamatul insan fi hifdzil lisan" yang memiliki arti bahwa, keselamatan manusia itu ada dalam seseorang menjaga lidahnya. Lidah memang tak bertulang, tetapi ketajamannya melebihi dari sebuah pedang. Menjaga serta memagement lidah tentunya menjadi sangat penting bagi seorang muslim. e1W0Nfg. Na língua portuguesa, muitas vezes, pequenas mudanças podem alterar totalmente o sentido de um palavra. É o que acontece com o termos islamita, islamista e islâmico. Neste artigo, vamos explicar o significado de cada um deles e quando usá-los. Também vamos abordar os debates sociológicos que envolvem esses vocábulos. Vejamos! Segundo o dicionário Hoauiss, islamita é “seguidor do islamismo, maometano, muçulmano”. O termo islamista é considerado por alguns dicionaristas como sinônimo de islamita. Há, contudo, um aspecto histórico e social que vem gerando uma diferenciação entre essas duas palavras. De acordo com estudiosos do islã, como Abdoolkarim Vakil e Margarida Santos Lopes, islamita designa aqueles que seguem o islã como fé. Em contrapartida, islamista indica as pessoas que usam a religião como arma política e para fazer terrorismo. De acordo com os pesquisadores, essa distinção de sentido surge em um contexto no qual se vê um crescimento acelerado da islamofobia, ou seja, da rejeição às pessoas que seguem a fé islâmica. Assim, faz-se necessário adotar termos diferentes para separar a maioria pacífica dos radicais terroristas. Essa caso demonstra como as palavras carregam em si uma carga de significado que pode se modificar de acordo com o contexto sócio-histórico. É o que chamamos de alteração semântica. Destaca-se que essa discriminação entre os dois vocábulos é mais fortemente adotada em Portugal do que no Brasil. Islamita x Islâmico Segundo o Houaiss, islâmico significa “relativo a islamita ou a islamismo”. Essa palavra exerce somente a função de adjetivo. Por isso, ela deve sempre vir acompanhada de um substantivo mundo islâmico, ritos islâmicos, princípios islâmicos, etc. Já o termo islamita pode funcionar tanto como adjetivo quanto como substantivo comum de dois gêneros. Logo, podemos dizer “os islamistas”, mas não devemos dizer “os islâmicos”. Na linguagem informal, contudo, pode ocorrer a chamada derivação imprópria, quando um termo é usado em uma função que não lhe cabe por exemplo, utilizar um adjetivo no lugar de um substantivo. Por isso, é possível encontrar casos em que o adjetivo islâmico é utilizado como substantivo. Islã x Islamismo Aqui temos mais um caso em que as particularidades históricas e sociais influenciam o significado das palavras. Apesar dos termos serem considerados sinônimos, recentemente se tem visto uma diferenciação entre eles. Alguns estudiosos, como Santos Lopes e Vakil, explicam que islã designa a religião, já islamismo indica a ideologia de quem utiliza a fé islâmica como arma política. Ressalta-se, porém, que essa distinção não está registrada nos dicionários brasileiros de forma geral. Contudo, é importante lembrar – como explicam Dickinson, Brew e Meures – que um dicionário nunca será exaustivo. Dito de outra forma, a língua é viva e se transforma continuamente. Por isso, o fato de não estar dicionarizado não significa que determinado sentido de uma palavra não deva ser utilizado pelos falantes do idioma. Curiosidade Corão x Alcorão O livro sagrado dos muçulmanos aceita as duas grafias Corão e Alcorão. “Al” é o artigo definido dos árabes. É similar ao nosso “o”. Logo, Alcorão significa “o Corão”. No língua portuguesa, é comum que estrangeirismos vindos das Arábias sejam incorporados ao idioma fundindo o nome com o artigo. É o caso, por exemplo, das palavras alface, almofada, almirante, alfaiate, dentre outras. Gostou do texto? Então, assista o nosso vídeo sobre a função dos artigos definidos e indefinidos Inscreva-se para fazer parte do clube de português gratuitamente e receber dicas para te deixar afiado na língua link para um nova página do site . Assalamu'alaikum Dalam kitab Nashoihul Ibad bab 1 makalah ke 15 diterangkan bahwa Abu Bakar Ash Siddiq Radhiallohuanhu menjelaskan tentang firman Allah SWT tentang …“Dzoharol fasada fil barri wal bahri…” Kerusakan di daratan dan dilautan… Beliau berkata dalam tafsirannya ayat tersebut, al – Birru daratan yaitu lisan dan al – bahri lautan adalah hati. Maka apabila telah rusak lisan misal karena sebuah penyebab…”bakat alaihi nufusu” maka menangislah manusia yaitu segala anggota badan bani adam manusia dan apabila hatinya rusak misalkan karena riya… “bakat alaihil malaikat” menangislah para malaikat… Diterangkan oleh ahli hikmah sesungguhnya lisan itu adalah sebuah pengingat bagi seorang hamba…sehingga seseorang tidak akan berbicara kecuali dalam hal perkataan yang di pahami dan baik… Diterangkan pula bahwa sesungguhnya lisan itu berkata dengan setiap bahasa sehingga lisan itu berdzikir lil madzkur…yaitu berdzikir kepada Allah SWT. Begitu pula dengan hati… Hati dinisbahkan dengan al-Bahri lautan karena dalamnya hati serta luasnya hati bagaikan sebuah samudera yang begitu luas dan dalam. Ikhwan akhwat…. “salamatul insan fi hifdzil lisan” selamatnya manusia tergantung dari lisannya… Lisan adalah sebuah daging yang lunak tidak bertulang…tetapi tajam bagaikan pedang… Dalam kitab minhutasiah diterangkan rosulullah SAW memberi nasihat kepada Ali, yaa ali maa yakhluqullahu afdholu minal lisan… ila akhiri. “kenapa Allah menciptkan keutamaan pada lisan, dengan lisan manusia bisa masuk syurga dan dengan lisan pula bisa masuk neraka..naudzubillah…begitu dahsyat nya lisan… Ikhwan akhwat fillah. Begitupun dengan hati…hati adalah raja…jagalah hati kita jangan sampai penyakit-penyakit hati masuk kedalam hati kita seperti ujub, riya, takabur, angkuh, sombong, dengki, hasud, dll. Sebab jika hati kita telah terasuki berbagai penyakit maka diri kita pun akan rusak pula, jauh dari rahmat Allah SWT. Ayyuhal ikhwah…mari kita jaga lisan kita dan hati kita sebaik-baiknya dengan selalu berdzikir dan taqorub mendekatkan diri kepada Allah SWT….semoga Allah SWT. Memberi kita kekuatan dan lindungannya kepada kita…. Amiin.. Wallohua’lam…. Wassalam menjadi orang besar dan terpandang bukan di tentukan oleh jabatan dan seberapa banyak harta yang di miliki tapi lebih kepada bagaimana orang itu bisa lebih menghargai orang yang lebih rendah di bawahnya dan membantu mereka. hidup itu seperti roda,berputar silih berganti,banyak hal dari orang lain yang kadang kita tidak mengerti jangan pernah memandang orang dari sisi luar saja/fisik,cobalah untuk belajar menghargai orang lain jika memang ingin di hargai oleh orang lain. Salamatul Insan Fi Hifdzil Lisan Oleh Muhbib Abdul Wahab Salah satu nikmat Allah SWT yang sangat berarti bagi interaksi sosial adalah lisan. Dengan lisan manusia berbahasa, berdialog, dan berkomunikasi dengan orang lain. Dengan lisan pula Rasul SAW menyampaikan pesan-pesan Ilahi kepada umatnya. Hanya saja, tidak semua lisan termenej dengan baik. Kadang lisan digunakan untuk kebaikan. Tidak jarang pula lisan digunakan untuk memproduksi kata-kata kotor, fitnah, caci maki, teror, dan sebagainya. Padahal, menurut sebuah pepatah “Mulutmu adalah harimaumu”. Karena itu, manajemen lisan menjadi sangat penting. Sebuah pepatah Arab menyatakan “Salamatul insan fi hifzhil lisan” Keselamatan manusia itu sangat tergantung pada pemeliharaan lisan.Diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Turmudzi, Nabi SAW pernah duduk bersama 'Aisyah RA. Tiba-tiba Sofiah Binti Huyai, istri beliau, datang menemui keduanya. 'Aisyah terlihat agak cemburu, dan berkata kepada beliau "Cukuplah dia Sofiah yang pendek itu untukmu!" Nabi langsung menegur keras 'Aisyah "Engkau sungguh telah mengeluarkan kata-kata yang jika dicampurkan dengan air laut, niscaya airnya menjadi sangat keruh!".Teguran Nabi SAW tersebut menunjukkan bahwa siapapun, termasuk istri beliau sendiri, harus berhati-hati dalam menggunakan lisannya. Jika tidak, maka lidah yang tidak bertulang itu dapat menimbulkan bencana. Sebuah syair Arab menyatakan "Jagalah lisanmu jika engkau berbicara, sebab lisan dapat membawa bencana. Ketahuilah bahwa bencana itu sangat bergantung pada lisannya." Karena itu, Nabi SAW bersabda "Tidak akan lurus iman seorang hamba sebelum lurus hatinya, dan tidak akan lurus hati seorang hamba sebelum lurus benar lisannya." HR Ahmad.Menjaga dan memanej lidah sangat penting bagi setiap Muslim. Indikator keberislaman seseorang, antara lain, terletak pada kemampuannya menjaga lidah untuk tidak digunakan untuk berkata kotor, menyakiti hati orang lain, memfitnah, memprovokasi, mengadu domba, dan sebagainya. "Yang disebut Muslim adalah orang yang lisan dan perbuatan tangannya membuat orang lain aman dan selamat." HR Muslim. Karena itu, "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata baik atau diam." HR Al-Bukhari dan MuslimSetidaknya ada lima cara mudah untuk memanej lisan agar apa yang diucapkan itu tidak sia-sia. Pertama, jangan berkata kalau tidak bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Kedua, carilah waktu, kata-kata dan situasi yang tepat untuk berbicara. Artinya berbicaralah sesuai dengan keperluan. Karena itu, jangan terlalu banyak berbicara, sebab "Sebaik-baik perkataan adalah yang singkat tapi padat dan efektif tepat sasaran, bermakna HR At-Tabarani.Ketiga, iringi setiap perkataan dengan dzikir kepada Allah agar tidak berlebihan dalam berbicara. "Janganlah engkau banyak berbicara tanpa dzikir kepada Allah, sebab banyak bicara tanpa dzikir kepada Allah dapat mengeraskan hati. Sementara, orang yang paling jauh dari Allah adalah orang yang berhati keras." HR At-Turmudzi.Keempat, jangan suka mengobral janji ketika berbicara, karena berjanji itu lebih mudah terutama bagi yang sedang berkampanye daripada menepatinya. Jika perkataan seseorang tidak lagi dapat dibuktikan dengan perbuatannya, maka terjadilah krisis kepercayaan dan menyebabkan kemurkaan Allah. "Hai orang-orang beriman, mengapa engkau mengatakan sesuatu yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan." QS Ash-Shaff [61] 2-3.Kelima, jauhi ghibah membicarakan aib orang lain dan perkataan tidak terpuji karena hal ini dapat mengundang keterlibatan setan untuk membumbui dan memprovokasi. Karena itu, carilah mitra bicara yang tidak suka melakukan ghibah. Menjauhi ghibah merupakan pangkal keselamatan. 'Uqbah Bin 'Amir pernah bertanya kepada Nabi SAW "Apa itu keselamatan?" Nabi menjawab "Kendalikan lisanmu, berusahalah untuk kebutuhan rumah tanggamu, dan tangisilah kesalahanmu." HR At-Turmudzi.Jadi, memanej lisan untuk kebaikan dan kemasalahatan diri sendiri dan orang lain merupakan kunci keberhasilan dan keselamatan kita semua. Karenanya, kita harus mensyukuri nikmat lisan ini hanya untuk kebaikan, bukan untuk menebar fitnah, kebencian, dan kemaksiatan.

salamatul insan fi hifdzil lisan